Anak Indonesia Paling Suka Sekolah? Antara Belajar, Berteman, dan Data yang Bicara

“Besok sekolah? Hore!”
Kalimat semacam ini mungkin jarang terdengar di rumah-rumah di Tokyo atau Helsinki. Namun, sebuah potongan acara televisi yang viral di media sosial menyebutkan bahwa siswa Indonesia berada di peringkat teratas sebagai “siswa paling suka sekolah di dunia”. Bahkan, posisi itu konon mengungguli Jepang yang terkenal disiplin.
Tentu saja klaim ini membuat banyak orang mengernyit. Apakah benar anak-anak Indonesia begitu bersemangat bersekolah? Atau jangan-jangan, yang mereka sukai bukanlah proses belajar di kelas, melainkan ritualnya: keluar rumah, bertemu teman, bercanda di kantin, atau sekadar bebas dari tugas rumah?

Suka Sekolah Bukan Suka Belajar


Mari kita tanyakan langsung pada siswa. Jawaban yang kerap muncul sederhana:
“Saya suka sekolah karena bisa ketemu teman-teman.”
“Karena ada wifi gratis.”
“Karena bisa jajan es teh jumbo di kantin.”
Jarang sekali ada yang menjawab, “Saya suka sekolah karena ingin memahami integral trigonometri.” Kalau ada, bisa jadi anak itu calon ilmuwan di masa depan.
Di sinilah perbedaan tipis namun penting: suka sekolah tidak sama dengan suka belajar. Banyak siswa merasa betah di sekolah karena faktor sosial, bukan akademik.

Sekolah sebagai Ruang Aman


Di banyak daerah, terutama yang kondisi ekonominya menantang, sekolah sering menjadi “ruang aman” bagi anak-anak. Ada siswa yang dengan jujur berkata, “Saya lebih suka di sekolah, soalnya kalau di rumah pasti disuruh ikut ke sawah.”
Bagi mereka, sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga tempat melarikan diri dari kerja paksa, tugas rumah tangga, atau tekanan ekonomi keluarga. Dalam konteks ini, wajar bila “suka sekolah” sebenarnya berarti “lebih baik sekolah daripada kerja berat di rumah”.

Budaya Kolektif dan Sekolah sebagai Tempat Main


Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang kolektif: terbiasa bermain bersama, bekerja kelompok, atau sekadar nongkrong ramai-ramai. Sekolah menjadi arena ideal untuk menyalurkan budaya itu.
Berbeda dengan Jepang atau Korea yang sekolahnya sangat kompetitif, anak Indonesia kerap menikmati sekolah sebagai tempat bermain sambil belajar atau barangkali lebih tepat disebut belajar sambil bermain. Bedanya tipis, tetapi sangat terasa.

Data PISA: Rajin Hadir, Prestasi Masih Tertinggal


Namun, jika “suka sekolah” berarti prestasi akademik, data berkata lain. Survei internasional PISA 2022 menunjukkan bahwa skor rata-rata siswa Indonesia di bidang matematika hanya 366 poin, sains 383 poin, dan membaca sekitar 359 poin. Bandingkan dengan rata-rata negara OECD yang berada di atas 480 poin.
Memang, posisi Indonesia naik lima hingga enam peringkat dibanding PISA 2018. Tetapi kenaikan itu lebih karena penurunan skor di beberapa negara lain, bukan lonjakan kemampuan kita. Dengan kata lain, meskipun anak Indonesia rajin datang ke sekolah, kualitas belajarnya masih jauh tertinggal.
Paradoks pun muncul: rajin hadir di sekolah, tapi hasil belajar belum optimal. Sama halnya seperti orang yang rajin datang ke gym, tetapi lebih sering nongkrong di kafe dan berselfie daripada benar-benar berolahraga.

Data BPS: Hampir Semua Bersekolah, Tapi Menurun di Usia SMA


Lalu, seberapa banyak anak Indonesia yang benar-benar bersekolah? Data BPS 2024 memberi gambaran menarik. Untuk usia 7–18 tahun, angka partisipasi sekolah mencapai 97,95 persen. Artinya, hampir semua anak di rentang usia wajib belajar tercatat masih bersekolah.
Namun, jika dilihat lebih rinci, ada penurunan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk usia 7–12 tahun (SD), partisipasi hampir sempurna, rata-rata di atas 99 persen. Di jenjang SMP (13–15 tahun), angka tetap tinggi meski mulai ada penurunan kecil.
Masalah muncul di usia 16–18 tahun (SMA/SMK). Angka partisipasi sekolah mulai turun cukup signifikan, berada di kisaran 70–85 persen tergantung daerah. Di Sumatera Selatan misalnya, angka partisipasi SMA hanya 70,80 persen pada 2024. Data ini menunjukkan bahwa begitu memasuki usia remaja, banyak anak yang berhenti sekolah, entah karena faktor ekonomi, pekerjaan, atau kurangnya motivasi.

Ritual Sekolah yang Membekas


Terlepas dari semua data itu, banyak orang dewasa yang sering bernostalgia dengan masa sekolah. Yang dirindukan bukanlah ulangan harian matematika, melainkan hal-hal seperti:
Upacara bendera di bawah terik matahari, yang diam-diam jadi ajang saling melirik gebetan.
Jam pelajaran kosong karena guru rapat, yang entah mengapa terasa lebih berharga daripada pelajaran fisika.
Nongkrong di kantin bersama teman, ditemani gorengan hangat dan es teh manis.
Inilah sisi sekolah yang membuat anak-anak “suka sekolah”. Sisi sosial, kebersamaan, dan ritual harian jauh lebih kuat membekas dibanding rumus atau teori.

Dari Suka Sekolah ke Suka Belajar


Maka pertanyaannya: apakah cukup jika anak-anak hanya suka sekolah? Atau seharusnya rasa suka itu diubah menjadi suka belajar?
Data PISA menegaskan bahwa kehadiran di sekolah belum otomatis berarti keberhasilan akademik. Sementara data BPS menunjukkan masih ada tantangan besar agar anak bertahan hingga lulus SMA.
Tugas pendidikan Indonesia adalah bagaimana mengubah rasa betah di sekolah menjadi rasa ingin tahu yang berkelanjutan. Bagaimana suasana kantin yang hangat bisa berlanjut ke ruang kelas yang inspiratif. Bagaimana obrolan ringan dengan teman bisa sejalan dengan pemahaman materi yang mendalam.
Mungkin benar bahwa siswa Indonesia paling suka sekolah. Tetapi yang mereka sukai sering kali bukanlah buku teks, melainkan suasana kebersamaan yang tercipta di sekolah. Itu bukan hal buruk. Justru bisa menjadi modal sosial yang kuat. Tinggal bagaimana sistem pendidikan mengolah “suka sekolah” itu menjadi “suka belajar”. Sebab, generasi yang hanya suka sekolah akan berhenti di gerbang sekolah. Tetapi generasi yang suka belajar akan terus melangkah, bahkan jauh setelah bel sekolah terakhir berbunyi.

Post Comment