Baca dan Tulis Lagi Sebelum Kena Kultur ‘Nggak Sempet’ . Malu Nih Sama Yang Sepuh
Ada satu pertanyaan yang bikin saya agak risih tiap kali ngelihat timeline: kenapa ya justru orang-orang sepuh, yang rambutnya sudah banyak putih, malah lebih rajin berkarya, sementara anak muda sibuk main reels, scroll TikTok, dan bikin konten receh? Jangan tersinggung dulu, ini opini, bukan vonis.Padahal, bukankah kita yang muda-muda ini yang paling banyak dapat “jatah energi”? Malam begadang masih kuat, nongkrong sampai subuh oke, tapi giliran disuruh nulis dua paragraf esai udah kayak disuruh lari maraton.
Ironisnya, banyak penulis, budayawan, dan pemikir yang konsisten bikin karya justru mereka yang sudah senior. Kita, yang katanya generasi digital native, malah kerap jadi penonton.Malu dong, masa kalah semangat sama yang usianya dua kali lipat kita? Kalau yang sepuh saja semangat nulis, baca buku tebal tanpa takut ngantuk, kenapa yang muda justru lebih rajin baca caption pendek? Mumpung masih muda, justru harusnya latihan bikin jejak—entah itu tulisan, catatan harian, esai panjang, bahkan puisi random.
Bukan soal kualitas, tapi soal keberanian untuk mulai.Baca dan tulis itu bukan sekadar aktivitas akademis, tapi investasi panjang. Semakin muda mulai, semakin dalam akar yang bisa ditanam. Satu tulisan kecil hari ini bisa jadi refleksi besar lima tahun ke depan. Satu buku yang kita baca sekarang bisa jadi batu loncatan argumen saat kita debat di ruang publik. Jangan tunggu rambut memutih dulu baru merasa punya waktu berkarya.
Jangan salah, menulis itu bisa sederhana. Tidak perlu menunggu jadi Pramoedya atau Goenawan. Cukup tuangkan keresahan, pengalaman, atau bahkan obrolan warung kopi. Yang penting ada jejaknya. Karena kelak, generasi berikutnya tidak akan mencari jejak “si paling lucu di grup WA”, tapi mencari tulisan dan ide yang bisa dibaca ulang.
Jadi, mari malu-maluin sedikit diri sendiri: kalau yang sepuh saja masih gigih menulis, masa kita yang muda cuma sibuk jadi komentator di kolom reply? Yuk, baca lagi, tulis lagi. Sebelum tua datang, dan alasan klasik “nggak sempat” jadi semakin nyata.
Post Comment