Agenda Lama yang Terulang, Kali Ini ‘Korbannya’ Lobster

Oleh : Gedanke

Sekarang lagi heboh isu makanan Indonesia kena radiasi. Udang beku, cengkih, semua kena gosip nuklir. Media rame, publik panik, TikTok penuh konten awas radiasi.Kalau dibawa guyon, jangan-jangan ini cara bikin X-Men lokal. Bayangin makan udang beku, besok bangun punya insang. Ngunyah cengkih, tiba-tiba bisa nembak laser. Mungkin asyik kalau bener, tapi ya kira-kira hidup nggak sesederhana komik.

Faktanya, radiasi ini narasi. Mirip dulu ketika Dahlan Iskan dengan mobil listriknya. Proyek itu dipatahkan bukan karena teknologinya jelek, tapi karena “pengukuran” yang dipelintir. Mobil listrik dites pakai standar bensin. Hasilnya nihil. Publik bingung. Lalu keluar narasi: “mobil ini gagal.” Padahal masalahnya bukan di mobil, tapi di cara ukur.

Sekarang pola itu terulang. Radiasi dipakai sebagai penggaris kepanikan. Geiger bunyi tik-tik-tik, pasar geger. Udang dan cengkih kita didorong keluar, sementara pihak lain sudah siap masuk. Publik ribut di timeline, padahal yang menghitung laba ada di tempat lain.

Samuel Benner sudah menulis sejak abad 19: ada masa panik, ada masa bagus, ada masa sulit. Semua komoditas ikut siklus itu. Dulu jagung dan ternak, sekarang udang dan cengkih. Dulu panik karena gagal panen, sekarang panik karena Geiger bunyi. Bedanya tipis: sama-sama bisa dimanfaatkan untuk “make money.”

Jadi apa kita mau terus begini? Jadi pasar, jadi konsumen, jadi komoditas? Harusnya kita bisa naik kelas jadi produsen yang percaya diri. Tapi kalau masih gampang digiring narasi, mungkin kita bakal terus jatuh di lubang yang sama.

Karena pada akhirnya, pertanyaannya sederhana tapi pahit: mau sampai kapan kita hanya jadi konsumen barang internasional, padahal hidup di tanah subur dan kayu yang mestinya bisa menghidupi kita sendiri?

Post Comment