Tanggung Jawab Kampus

Oleh: Rio Febriannur Rachman / Koordinator Riset Pusat Studi Cendekia

Dalam sebuah siniar, seorang peneliti yang juga pemengaruh di media sosial Bagus Muljadi (⁠Bahas Riset, Pendidikan, dan Logika Mistika Bersama Bagus Muljadi, MALAKA, 2025), pernah mempertanyakan tentang bagaimana jaminan kampus-kampus pada mahasiswa yang sudah membayar SPP sedemikian mahal. Sepantasnya, kampus memberikan jaminan bahwa para lulusan yang sudah membayar sedemikian mahal bisa segera mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Ada elemen transaksional ekonomis: anda membayar mahal, anda akan dapat pekerjaan dengan upah sesuai. Pemikir yang lama berkiprah di Inggris itu juga menyitir sejumlah kampus di luar negeri yang berani memberikan jaminan semacam itu.

Artikel ini tidak akan membahas soal detail bagaimana jaminan kampus pada mahasiswanya sehubungan dengan lapangan pekerjaan. Di luar itu, pembahasan tentang bagaimana tanggung jawab civitas akademika untuk lingkungannya (pada lingkup kecil maupun yang jauh lebih besar) selalu menarik untuk didiskusikan. Terlebih, di bulan Agustus yang memiliki nuansa kemerdekaan mulai di gang-gang sampai di jalan protokol. Selain itu, pada sekitar bulan ini pula kampus-kampus memulai tahun akademik baru.

Dari ahlushshuffah sampai proklamasi

Sekitar 14 abad silam, di sebelah rumah Nabi Muhammad ada sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai masjid Nabawi. Di teras masjid ada sekelompok pemuda yang hidup, belajar langsung pada nabi, dan dikenal sebagai ahlushshuffah. Pemuda-pemuda dhuafa ini kemudian menjadi sangat terkenal di kalangan umat Islam, sebut saja: Abu Hurairah (penyampai hadist mahsyur), Abdullah bin Mas’ud (penghayat ilmu Al-Quran), Bilal (muadzin Nabi), dan Salman Al-Farisi (penggagas metode parit di momen perang khandaq).

Mereka tidak pernah membayar untuk mendapatkan ilmu dari Nabi Muhammad. Mereka juga tidak meminta royalti saat mengajarkan ilmu itu sebagai rujukan masyarakat. Masjid Nabawi sebagai institusi pendidikan dan ahlushshuffah sebagai pembelajar mengoptimalkan peran masing-masing. Dalam literatur sejarah mana pun, ahlushshuffah dianggap sebagai kelompok paling berpengaruh bagi perkembangan Islam, agama dengan pemeluk terbesar nomor dua di kolong langit.

Di era perjuangan kemerdekaan, sarjana-sarjana pemakan bangku sekolahan adalah kelompok terdepan di meja diplomasi. Selain mereka yang mengangkat senjata, politik duduk para pemikir semacam Hatta, Natsir, Yamin, Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim menjadi pilar penting. Mereka menuntut ilmu, mereka menebar manfaat. Perjuangan itu ikut mengantar Indonesia menapak momen proklamasi kemerdekaan.

Kampus, Dosen, dan Mahasiswa

Kampus-kampus di Indonesia tidak harus presisi meniru institusi Masjid Nabawi pada zaman nabi. Sebagaimana mahasiswa-mahasiswa baru tidak perlu dituntut sehebat pahlawan-pahlawan nasional yang monumental itu. Namun sekurang-kurangnya, perlu ada kesesuaian visi, misi, dan spirit pendidikan tinggi untuk bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. Tridharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian) yang berdampak. Bila tidak, hasilnya hanya menjadi tumpukan kertas di perpustakaan atau hamburan tautan di kanal-kanal jurnal bereputasi.

Kampus perlu membuat strategi untuk bisa menciptakan pola kebermanfaatan bagi sekitar. Urusan administratif seputar jumlah klik website untuk parameter webometrics atau masalah-masalah lain sejenisnya bisa dijadikan fokus setelah mewujudkan kebermanfaatan tersebut. Kesejahteraan dosen diberi ruang maksimal, sejalan dengan tanggung jawab pengajar untuk terus berinovasi. Jangan sampai dosen malas menambah wawasan baru seputar isu kekinian. Muaranya, mahasiswa diminta berkelompok dan presentasi dengan dalih memancing keaktifan. Padahal, dosen sudah buntu untuk berkreasi dan hanya bermain medsos di ponsel senyampang menunggu mahasiswa tanya jawab dengan kawannya sendiri.

Di sisi lain, mahasiswa harus bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Jangan hanya berkutat pada rutinitas menunggu kiriman orang tua dan asmara. Umumnya, usia mahasiswa adalah 17 tahun ke atas. Mereka tergolong dewasa di mata hukum karena sudah punya KTP. Jika dipandang dari aspek biologis dan agama (setidaknya dalam Islam), mereka sudah tergolong matang dan baligh. Sewajarnya tidak lagi membagi tanggung jawab dengan orang tua.

Mahasiswa perlu menguatkan jaringan pertemanan seluas-luasnya dan menimba ilmu sedalam-dalamnya. Jamak diketahui, di era sekarang jaringan pertemanan menjadi jalur memperoleh pekerjaan yang menjanjikan. Fokuslah pula dalam membangun jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan.

Patut dipahami, mental kewirausahaan tidak melulu soal status orang jadi pedagang atau pebisnis. Seorang pegawai kantoran, ASN, atau dosen sekalipun, perlu bermental wirausaha. Ini bukan hanya soal mengkomersilkan barang atau jasa. Lebih dari itu, mental ini membantu mengukur seberapa layak hak dan kewajiban diimplementasikan. Jika dosen memperoleh segini, seharusnya dia melakukan segitu. Jika mahasiswa ingin seperti itu, seharusnya dia melakukan seperti ini. Demikian seterusnya. (*)

Post Comment