Bapak Nilai dan Anak Ideologis, yang Ngopi Barengnya di Baradjawa
Oleh : Hari TW
Jam sepuluh siang di Baradjawa, kafe yang aroma kopinya seperti punya niat baik menenangkan pikiran. Di sudutnya, Pak Arif Afandi duduk dengan dua anaknya. Di meja, sudah tersaji obrolan tentang tren komunikasi, Yai Mim, sampai soal riset kecil tentang kehumasan. Tak ada yang benar-benar formal, tapi juga tidak serampangan. Diskusi itu seperti menonton tiga pikiran dengan ritme berbeda—namun satu nada dasar yang sama.
Tapi bukan itu yang paling menarik. Yang membuat saya berhenti memegang gelas kopi justru ini: bagaimana ayah dan anak bisa berada dalam satu lingkaran kerja yang sejajar. Tak ada gap senioritas yang kaku, tak ada sungkan anak-anak yang biasanya membungkam ide di hadapan ayahnya. Mereka bertukar pikiran, saling menimpali, sesekali tertawa. Di situ saya melihat kerja yang bukan sekadar kolaborasi profesional—tapi kelanjutan dari cinta yang pernah tumbuh di meja makan rumah.Saya jadi berpikir, mungkin inilah bentuk baru “warisan”. Bukan sebidang tanah, bukan perusahaan, tapi kemampuan untuk memikirkan sesuatu bersama. Ayah menurunkan cara berpikir, anak membawakan cara baru untuk melihat dunia. Di sela diskusi, ada cara diam yang sama, cara menyimak yang serupa, tapi juga keberanian berbeda untuk bertanya. Di situ saya paham: bekerja bersama keluarga bukan berarti menutup dunia, tapi membuka ruang yang lebih jujur.
Ada yang bilang, kerja dengan keluarga itu rawan gesekan. Tapi mungkin justru di situ letak keindahannya—karena setiap gesekan datang dari orang yang niatnya baik. Mungkin mereka berdebat, mungkin tidak selalu sepakat. Tapi tak ada yang ingin menjatuhkan. Mereka hanya ingin membuat sesuatu berjalan lebih baik. Di dunia kerja yang kadang penuh sandiwara, kejujuran seperti ini terasa langka.
Dan di Baradjawa siang itu, saya belajar sesuatu yang sederhana tapi penting: bahwa pekerjaan yang baik bukan soal kerjanya, tapi soal perjumpaan. Tentang bagaimana seseorang menyalurkan nilai ke anak-anaknya tanpa ceramah, hanya lewat cara mereka memandang dunia, memandang manusia. Baradjawa jadi saksi kecil bahwa komunikasi terbaik sering lahir bukan dari seminar, tapi dari kopi yang dibagi bertiga.
Post Comment