Talent Show Bernama Magenta
Namanya Dani Ramadhan. Mahasiswa Universitas Airlangga, Program Studi Manajemen Perkantoran Digital. Usianya masih 20-an, tapi wajahnya sudah seperti kebanyakan mahasiswa tingkat akhir: lelah, banyak pikiran, dan penuh tabungan cerita gagal.
Dani bukan tipe mahasiswa yang hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang. Sejak semester dua, ia sudah rajin ikut project, kepanitiaan, sampai bantu riset. Katanya semua itu untuk satu tujuan: portofolio. Karena Dani tahu, di luar sana ada panggung yang disebut Magenta—Magang Generasi Bertalenta, program BUMN yang jadi rebutan ribuan mahasiswa.
Magenta ini ibarat talent show. Ribuan orang audisi, kuotanya segelintir. Yang lolos bukan hanya yang pintar, tapi yang bisa tampil meyakinkan di atas panggung: CV rapi, skill digital kinclong, portofolio gemuk. Yang gagal? Ya pulang dengan kalimat klasik: “Terima kasih sudah mencoba, semoga sukses di kesempatan lain.”Dani sendiri sempat beberapa kali merasakan pahitnya ditolak. Tapi akhirnya di semester tujuh, setelah portofolionya tebal, ia berhasil menembus seleksi. “Susah banget mas tembus Magenta,” begitu ia sering bercerita pada teman-teman. Baginya, perjalanan panjang itu memang sepadan. Di Magenta, ia tidak diperlakukan seperti anak magang yang cuma disuruh fotokopi. Ia benar-benar terjun di proyek, ikut rapat, dan merasa ilmu kampusnya diuji habis-habisan.
Tapi tentu, cerita Dani hanyalah satu contoh. Banyak mahasiswa lain yang mentalnya sudah tumbang di awal. Baru gagal sekali, langsung update story: “Susah banget Magenta, sistemnya nggak adil.” Padahal portofolionya masih kosong melompong.Di situlah kritiknya: magang yang seharusnya jadi ruang belajar, kini jadi ajang adu portfolio. Mahasiswa yang gampang baper jelas tersingkir. Karena Magenta memang bukan untuk yang lemah hati.
Magenta susah ditembus, tapi justru karena itu ia berharga. Buat yang lolos, Magenta jadi investasi karier. Buat yang gagal, ya anggap saja sedang audisi talent show: kalau hari ini belum dapat golden buzzer, besok coba lagi. Tapi jangan baper. Karena di dunia kerja nanti, penolakan bukan hanya sekali dua kali, tapi bisa jadi rutinitas mingguan.
Post Comment