Mengerti Puisi Jurnalistik Agar Kamu Mudah Mendapatkan Yang Cantik
Pernahkah kamu membaca berita, tapi rasanya seperti membaca sajak? Kalimatnya tidak berteriak, tapi menatap lama. Tidak berlebihan, tapi membekas. Itulah kira-kira yang disebut puisi jurnalistik—sebuah pertemuan tak terduga antara kepala dingin jurnalis dan hati lembut penyair. Ia bukan laporan yang sekadar menyusun fakta, tapi juga perasaan yang diselundupkan di antara baris data dan kutipan narasumber.Puisi jurnalistik lahir dari kesadaran bahwa tidak semua kebenaran bisa dijelaskan lewat angka. Ada kebenaran yang hanya bisa dirasakan. Dalam ruang redaksi yang sibuk, di antara berita politik dan kriminal, kadang ada satu kisah kecil yang menuntut bahasa lebih pelan: tentang seorang anak yang kehilangan ayahnya di jalan tol, atau perempuan tua yang menyelamatkan buku dari rumahnya yang terbakar. Fakta saja tak cukup untuk menceritakan getar-getar seperti itu. Maka, jurnalisme pun mencari bentuk lain—yang puitis, yang jujur, yang manusiawi.Salah satu yang mencoba menempuh jalan itu adalah Imung Mulyanto, jurnalis senior asal Surabaya yang baru saja merilis antologi puisi jurnalistik bertajuk “Tuhan, Plis Deh…” pada 3 Oktober 2025 di kampus STIKOSA-AWS. Buku ini adalah antologi puisinya yang pertama, tapi bukan karya pertamanya menulis dengan rasa. Selama bertahun-tahun, Imung menulis berita, mengedit teks, dan menatap kenyataan. Tapi dalam buku ini, ia menatapnya dengan cara berbeda—lebih lembut, lebih gelisah, lebih manusia.Imung bukan penyair yang turun dari menara gading. Ia seorang wartawan yang tumbuh di lapangan, mencatat kehidupan dari tepi jalan, dari ruang rapat, dari peristiwa kecil yang sering luput. Dalam puisinya, ia menulis seperti orang yang sedang mengobrol dengan Tuhan, sambil membawa beban jurnalis: rasa ingin tahu, rasa bersalah, dan rasa cinta yang aneh kepada kenyataan. “Tuhan, Plis Deh…” bukan sekadar judul yang jenaka, tapi juga doa yang lelah—doa seorang penulis berita yang bosan melihat dunia tanpa empati.Menariknya, sebelum membuat buku ini, Imung sudah terlibat dalam lebih dari sepuluh antologi puisi bersama rekan-rekan sesama jurnalis dan komunitas sastra, seperti Warumas dan Sanggar Patriana Surabaya. Tapi kali ini, ia berdiri sendiri, membawa suaranya sebagai saksi zaman. Dalam puisinya, kita bisa mencium aroma ruang redaksi yang penuh kertas, dengar bunyi keyboard, dan merasakan getir dari kisah manusia yang ia temui. Semua itu dirangkai tanpa kehilangan fakta—itulah seni dari puisi jurnalistik.Dalam sejarahnya, gaya seperti ini bukan hal baru. Goenawan Mohamad lewat Catatan Pinggir menulis seperti membaca renungan mingguan, sementara Emha Ainun Nadjib menyalurkan kritik sosial lewat bait-bait lembut. Kini, Imung melanjutkan estafet itu dengan nada yang lebih santai, kadang nakal, tapi tetap tajam. Ia menulis bukan untuk memoles kenyataan, tapi untuk mengajaknya bicara.Puisi jurnalistik, pada akhirnya, adalah bentuk perlawanan paling halus terhadap keringnya bahasa media. Ia menolak menjadi teks yang dingin dan terburu-buru. Ia memberi ruang bagi empati dan jeda—sesuatu yang makin langka di tengah dunia yang terus berlari. Dan mungkin, seperti yang dilakukan Imung lewat Tuhan, Plis Deh…, puisi jurnalistik sedang berusaha mengingatkan kita: bahwa di balik setiap berita, ada manusia yang masih mencoba berdoa, walau dengan bahasa yang belepotan.—
Post Comment