“Ngemis” di TikTok

Oleh: Rio F. Rachman | Koordinator Riset Pusat Studi Cendekia

TikTok merupakan salah satu platform media sosial (yang lebih suka mengklaim dirinya sebagai platform sharing content) yang paling populer belakangan ini. Dalam data bertajuk Countries with the largest TikTok audience as of July 2024, Indonesia tercatat memiliki 157,6 juta pengguna. Berdasarkan laporan lembaga riset Statista tersebut, Indonesia merupakan negara dengan pengguna TikTok terbesar di dunia, mengungguli Amerika Serikat (120,5 juta) dan Brasil (105,2 juta). Sementara itu, jumlah penduduk di negeri ini mencapai 278 juta jiwa.

Salah satu keunikan dari platform ini adalah fitur live streaming yang memungkinkan penonton memberikan “gift” kepada kreator sebagai bentuk dukungan. Gift ini berupa koin yang diberikan kepada kreator dan pada gilirannya bisa ditarik daalam bentuk uang. Ada berbagai macam gift atau hadiah yang bisa diberikan, mulai dari bernilai kecil atau murah hingga yang lebih mahal. Gift yang dimaksud bisa berupa donat (yang nilainya sekitar Rp 7.500), mahkota (Rp 24.750), bianglala/pelangi (Rp 750.000), singa (Rp 7,4 juta), dan lain sebagainya.

Jumlah pengguna yang besar berbanding lurus dengan luasan pasar. Oleh sebab itu, TikTok menjadi tempat yang sempurna bagi kreator untuk menarik perhatian khalayak. Semakin banyak pengikut dan pemirsa yang menonton siaran langsung, semakin banyak peluang untuk mendapatkan gift. Salah satu kreator TikTok yang populer dan dianggap sukses menjadikan platform ini ladang uang adalah Gunawan Sadbor. Dia mengajak kawan-kawannya di sebuah kampung di Sukabumi untuk joget “Wadidaw” dan “Beras Habis, Live Solusinya”. Hingga saat ini, jika membuka akun yang dikelola Gunawan Sadbor yang lagi joget dengan kawan-kawannya, di background akan terlihat kelompok-kelompok lain yang juga sedang joget live di hadapan layar platform TikTok. Jadilah kampung itu: kampung joget Sadbor.

Selayaknya platform media sosial lainnya, TikTok juga dilengkapi kolom komentar. Di kolom komentar kelompok joget sadbor, ada banyak model pernyataan disampaikan. Salah satu model yang sering Bu muncul adalah cibiran nyinyir yang menghujat aktifitas ini sebagai: pengemis, kegiatan orang pengangguran, sekampung mengemis semua, dan lain sebangsanya.

Apakah benar mereka mengemis? Coba dikomparasikan dengan pengemis yang stand by di depan minimarket menunggu pembeli baru belanja. Bisa pula bandingkan dengan pengamen yang bertepuk tangan dengan suara tanpa artikulasi jelas di lampu merah. Setidaknya, ada dua perbedaan. Pertama, tukang joget Sadbor tidak bertemu langsung atau bertatap muka dengan pemirsa. Sementara pengemis di minimarket atau pengamen lampu merah langsung berinteraksi dengan sasarannya. Mereka berpotensi melakukan ancaman fisik atau sekurang-kurangnya psikis (misalnya dengan merengut atau marah-marah) saat tidak diberi uang.

Kedua, jika pemirsa tidak senang dengan joget Sadbor, sepersekian detik dia bisa beralih konten dengan segera swipe layar. Sementara untuk bisa meninggalkan pengemis di minimarket maupun pengamen lampu merah, dibutuhkan transisi waktu yang kadang memunculkan rasa tidak nyaman jika sebelumnya ada interaksi kurang baik. Bila diperhatikan, dua variabel pembeda tadi bisa tergolong valid.

Seorang kawan nyeletuk: kalau cuma joget seperti itu semua orang juga bisa, mereka tidak menjual keahlian. Ya, mungkin semua orang bisa secara fisik, tapi belum tentu sanggup secara mental. Sementara untuk bisa tampil di ruang publik: kemampuan fisik dan mental ini diperlukan secara mutlak.

Joget Sadbor berbeda dengan kasus nenek mandi lumpur yang eksploitatif terhadap lansia. Peserta joget umumnya masih dalam usia produktif. Kalau pun tua, mereka masih tampak energik dan sehat. Joget Sadbor tak ubahnya aktifitas-aktifitas kreator lainnya yang bertujuan mendulang koin. Seperti sejumlah perempuan mengenakan pakaian senam berolahraga di hadapan layar dan akan melakukan gerakan-gerakan tertentu jika diberi gift. Sebagaimana pula seorang pemain musik yang akan berterima kasih dengan cara mendendangkan simfoni tatkala diberi hadiah.

Prinsipnya, mereka yang memberi gift adalah mereka yang merasa terhibur karena konten tersebut. Tidak ada paksaan. Tanpa tendensi eksploitatif. Coba perhatikan akun-akun joget Sadbor di malam hari. Banyak sekali yang nonton. Tidak semua memberi gift, tapi para penonton setia pasti merasa terhibur. Demikianlah era media baru berjalan dengan egaliter. Siapa bisa melakukan apa pun, untuk mencari respon apa pun. Selama tidak melanggar hukum positif, seharusnya semua pihak dalam hal ini komentator bisa lebih bijak dan objektif. Sehingga, tidak terkesan kurang adil menilai kalau ditemukan ada aktifitas yang dianggapnya “kampungan”, sementara ada pula aktifitas yang dianggap modern karena menampilkan musik dengan penampil sensual. Padahal, mereka sama-sama berharap diberi gift. (*)

Post Comment