Pohon Yang Tak Dirindukan
Oleh: Kyoto Hamzah
Setiap sore di jalan ke Sidoarjo kota, sering saya temui pohon-pohon yang ditebang sampai gundul. Tak ada lagi dedaunan yang meranggas saat panas tiba, trotoar menjadi terang namun begitu terik.
Jalan tak lagi sama seperti saat kita kecil dahulu. Bermain di bawah rindangnya pohon dan berlari dengan riang gembira. Pohon yang biasanya menyuplai oksigen itu kini menjadi kenangan demi pembangunan. Sayangnya pembangunan tersebut bukan atas dasar bersama, gengsi sang pemegang kekuasaan lebih utama agar dikenal sebagai sosok berpengaruh.
Alun-alun kota Sidoarjo mungkin sedang dipercantik dibandingkan yang dahulu. Hanya saja kami rindu rimbunnya pepohonan yang sering digunakan sebagai lapak jualan pedagang keliling dan keluarga kecil bertamasya. Kami rindu momen saat anak-anak lebih sering bermain lari-larian dan ular-ularan di bawah pohon yang sejuk. Kami rindu tapi itu menjadi memori. Pembangunan itu penting, tetapi jarang sekali mereka mendengar apa yang menjadi keinginan masyarakatnya. Mereka hanya ingin menghabiskan APBD di akhir tahun ini, tapi lupa ada kebutuhan lain yang seharusnya menjadi keinginan masyarakatnya. Salah satunya jalan yang layak dan pepohonan yang rimbun seperti saat kita kecil.
Sayangnya pohon tak lagi dirindukan. Dia dianggap sebagai hama oleh pemilik jalan karena merusak jalan aspal, menimbulkan sampah dedaunan yang jatuh di jalan dan membuat lahan parkir semakin berkurang. Entah mengapa kita menganggap pohon sebagai penghalang, padahal keberadaannya begitu berharga. Minimal untuk menjamin suplai oksigen terjaga dan para pejalan kaki tidak kepanasan.
Mengapa kita membenci pohon?
Aku melihat pohon besar di makam keluarga Tjondronegoro yang terletak di belakang masjid agung Sidoarjo. Begitu sejuk dan menenangkan, kala kita yang hidup merasa iri dengan mereka yang telah tiada. Mereka beristirahat di bawah pohon seperti kenangan kita saat kecil.
Kadang kita iri dengan orang-orang yang berpulang dengan pohon yang masih tegak berdiri di sampingnya. Sedangkan kita harus bergelut dengan panasnya cuaca sidoarjo yang kian hari semakin terik. Baik panasnya matahari maupun arah politik yang kian hari tidak jelas.
Sidoarjo dikenal sebagai salah satu daerah industri andalan di Jawa Timur. Lokasinya yang strategis diantara ibukota provinsi yakni Surabaya dan kawasan lain macam Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan punya nilai tawar tersendiri. Belum lagi daerah lainnya yang ikut menopang seperti Malang Raya dan Lamongan.
Dari segala potensi yang ada, cukup disayangkan bila Sidoarjo tidak memiliki sesuatu yang bisa ditonjolkan kepada para pelancong maupun masyarakat setempat. Salah satunya dengan memberi kesan pertama yang memikat. Surabaya mulai menyadari itu dan mencoba menggunakan pohon Tabebuya sebagai alat penarik perhatian.
Kita tahu kalau Surabaya dan Sidoarjo itu merupakan daerah dataran rendah. Keduanya sama-sama panas di musim kemarau dan sering kebanjiran jika musim hujan tiba. Meski demikian, Surabaya berhasil memperbaikinya dengan memperhatikan tata kelola taman dan trotoar jalan dengan pepohonan. Yang paling ikonik adalah pohon Tabebuya yang memberi kesan unik seperti bunga sakura yang gugur di pinggir jalan.
Walau masih ada masalah lain seperti irigasi, setidaknya mereka memperhatikan peran pohon sebagai bagian dari perencanaan pembangunan kota. Lalu bagaimana dengan tetangganya, Sidoarjo?
Seperti yang sudah-sudah, banyak pohon yang ditebang dan jarang diganti dengan yang baru. Semua menjadi jalan tanpa pemandangan hijau yang menenangkan mata dan hati. Bahkan kuburan pun lebih nyaman dibandingkan jalanan yang ada saat ini jika tidak ditanami oleh pepohonan.
Ini hanya saran semata, andai jalan-jalan tersebut ditanami tanaman penghasil buah seperti mangga atau jambu akan lebih bermanfaat bagi sesama. Hal tersebut terjadi di Tiongkok yang menanam pohon mangga dan nangka di trotoar jalan. Ketika panen pemerintah sana membagikannya pada para pejalan kaki.
Hal yang serupa aslinya juga pernah diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sosok yang tidak kita sukai karena menjajah Nusantara itu pun masih memikirkan bagaimana nasib para pejalan kaki dengan menanam pohon asem Jawa agar bisa dikonsumsi di tengah perjalanan dan tidak memiliki bekal uang maupun makanan.
Sebuah ironi di mana negeri yang mengaku paling beragama justru kalah dengan negara yang sering dianggap atheis dan negara penjajah. Sungguh sangat disayangkan sekali, namun begitulah realitanya. Kita membenci pohon karena kita malas membersihkan dedaunan yang meranggas, padahal masih ada manfaat di antara semua itu.



Post Comment