Malam Minggu, Sebuah Anugerah yang Tak Semua Bisa Rasa

Oleh ; Wawan Satrya

Ada kalanya kita lupa bahwa bisa menikmati malam Minggu adalah sebuah anugerah kecil yang tak semua orang punya. Di kota ini, di mana lampu jalan tak pernah benar-benar padam dan suara kendaraan tak pernah benar-benar hilang, ada banyak orang yang bahkan tak tahu hari ini Sabtu atau Selasa. Mereka hidup di jam kerja yang cair, di ritme hidup yang tak tunduk pada kalender. Sementara sebagian dari kita sibuk memilih tempat nongkrong, mereka masih berkutat dengan hidup yang harus tetap berjalan, entah di pabrik, rumah sakit, atau warung yang tak boleh tutup.

Bisa merasa bahwa malam ini “malam Minggu” adalah tanda kita masih punya jeda. Masih punya waktu untuk menunggu seseorang, menonton film, menata diri, atau sekadar menyeruput kopi tanpa rasa bersalah. Ada rasa yang berbeda di udara: sedikit lebih ringan, sedikit lebih santai, seolah dunia memberi izin untuk berhenti sejenak. Padahal, bagi sebagian orang, malam ini tak ada bedanya dengan malam lainnya—karena Senin bukan berarti kerja, dan Minggu bukan berarti libur.

Kadang aku iri pada mereka yang masih menunggu malam Minggu dengan deg-degan kecil di dada. Menunggu seseorang datang dengan motor bersuara pelan, atau menanti pesan singkat yang berbunyi, “Kau di mana?” Itu tanda bahwa hidupnya masih punya ritme harapan. Sementara sebagian lain dari kita, mungkin sudah lama berhenti menandai hari-hari. Kalender hanya jadi angka. Malam Minggu lewat begitu saja seperti angin di jendela.

Ada orang yang bekerja di malam Minggu, bukan karena ingin, tapi karena harus. Ada yang menjaga pasien, ada yang menulis laporan lembur, ada yang jadi sopir online menjemput rezeki. Mereka tidak menikmati malam Minggu, tapi mereka menjaga agar orang lain bisa menikmatinya. Kadang kita lupa berterima kasih pada mereka. Padahal, mungkin malam Minggu yang nyaman itu berdiri di atas kerja diam-diam mereka.

Malam Minggu bukan cuma tentang cinta dan kencan. Ia adalah simbol tentang waktu yang bisa kau miliki untuk dirimu sendiri. Tentang kemewahan bernama “istirahat”. Tentang kemampuan mengenali bahwa hidup ini tidak melulu berlari. Bagi sebagian, itu datang setiap pekan. Bagi sebagian lain, mungkin hanya sebulan sekali, atau bahkan tak pernah.

Aku jadi berpikir, barangkali yang disebut bahagia itu sesederhana bisa tahu kapan harus berhenti. Bisa tahu kapan hari libur, dan bisa menikmatinya tanpa rasa bersalah. Karena di tengah hidup yang serba cepat ini, yang serba dikejar, punya satu malam untuk merasa tenang—itu sudah lebih dari cukup.

Jadi malam ini, entah kau sedang di jalan, di kasur, atau di balik meja kerja—mari beri diri kita izin kecil untuk merayakan. Tidak harus dengan kembang api atau musik keras. Cukup dengan sadar: ini malam Minggu, dan aku masih sempat merasakannya. Itu saja sudah anugerah.


Post Comment