Istilah “Pemerintah Memberi Bantuan” Itu Salah Kaprah dan Fatal
M. Yudha Iasa Ferrandy
Dalam wacana publik Indonesia, frasa “pemerintah memberi bantuan kepada rakyat” telah menjadi kalimat ajaib yang diulang tanpa jeda, seolah-olah ia merupakan kebenaran yang tak perlu diperiksa. Narasi ini tercetak dalam spanduk resmi, baliho kampanye, siaran konferensi pers, hingga caption media sosial para pejabat yang menampilkan diri sebagai dermawan bangsa. Namun jika kita kembali kepada konsep negara modern, logika administrasi publik, dan kewarasan politik paling dasar, istilah itu bukan hanya keliru, tetapi juga salah kaprah dan fatal. Ia merusak relasi negara–warga, mengaburkan sumber keuangan negara, dan dalam jangka panjang menanamkan mentalitas yang menjauh dari ciri-ciri demokrasi.
Secara konseptual, negara tidak pernah dikonstruksikan sebagai lembaga amal atau derma pribadi. Negara adalah legal public entity—sebuah subjek hukum publik yang berdiri atas mandat rakyat, diarahkan oleh konstitusi, dan dibiayai sepenuhnya melalui instrumen yang juga berasal dari rakyat. Di antara instrumen itu terdapat pajak, pengelolaan sumber daya alam, retribusi, dan berbagai penerimaan negara lain yang pada dasarnya merupakan hasil kolektif rakyat. Pemerintah, dalam struktur administrasi negara, hanyalah pelaksana teknis dari mandat itu. Ia bukan pemilik uang, bukan pemberi sedekah, bukan pula sumber kebaikan. Ia bekerja menggunakan anggaran yang telah dihimpun dari masyarakat dan dibatasi oleh hukum. Karena itu, secara intelektual maupun etika publik, tidak mungkin ada keadaan di mana pemerintah “membantu” rakyat. Yang ada adalah pemerintah menunaikan kewajiban terhadap rakyat.
Dalam perspektif administrasi publik, istilah “memberi bantuan” menciptakan ilusi tentang relasi moral yang sebenarnya tidak pernah ada. Administrasi negara bekerja dengan asas legalitas, akuntabilitas, kesetaraan layanan, dan pendelegasian kewenangan. Tidak satu pun asas itu menempatkan pemerintah sebagai pihak yang memberi kebaikan personal kepada rakyat. Yang dilakukan pemerintah ketika menyalurkan dana sosial bukanlah tindakan karitatif, melainkan pembelanjaan anggaran publik yang sudah ditetapkan melalui proses politik formal. Dalam logika administrasi, tindakan itu adalah implementasi, bukan kemurahan hati. Ketika bahasa “memberi bantuan” digunakan, makna administratif yang objektif itu langsung bergeser menuju citra feodal: negara sebagai pelindung, rakyat sebagai penerima belas kasihan.
Kesalahan fatal itu semakin jelas bila kita menilik struktur pembiayaan negara. Setiap detail aktivitas pemerintahan—dari gaji dan tunjangan kinerja pegawai negeri, tunjangan pejabat, perjalanan dinas, pembangunan kantor pemerintahan, hingga fasilitas pensiun yang mereka nikmati sampai akhir hayat—semuanya dibiayai oleh rakyat. Negara tidak menghasilkan kekayaan sendiri, ia mengelola kekayaan yang telah dihimpun dari masyarakat. Dengan demikian, ketika pemerintah menyalurkan beras, uang tunai, subsidi, atau bentuk lainnya, ia sesungguhnya hanya mengalirkan kembali sebagian kecil dari modal kolektif yang sejak awal dikumpulkan dari rakyat. Kata “memberi” seakan-akan menempatkan pemerintah sebagai sumber, padahal ia hanya perantara administratif yang diberi mandat untuk menata arus uang publik.
Dari sudut pandang teori demokrasi, kesesatan makna ini lebih membahayakan. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi alat pembentuk imajinasi politik. Ketika rakyat terus-menerus mendengar bahwa pemerintah “membantu”, mereka perlahan membangun kesadaran bahwa negara adalah entitas pemberi kebaikan. Bahasa ini membalikkan hubungan yang seharusnya: rakyat menjadi pihak yang berhutang budi, sementara pemerintah menjadi pihak yang layak disyukuri. Padahal dalam demokrasi, pemerintah adalah pelayan publik—dan pelayan tidak mungkin diposisikan sebagai dermawan kepada majikannya. Ketika pola pikir ini berkembang, kritik dianggap tidak tahu diri dan tidak sopan, akuntabilitas dianggap ancaman, dan pemerintahan cenderung bergeser dari prinsip pelayanan menuju patronase yang berbahaya.
Secara imajinatif kita dapat membayangkannya demikian: rakyat adalah tanah yang menumbuhkan segala, sementara pemerintah hanyalah saluran irigasi. Tetapi suatu hari, saluran itu berkata, “Air ini pemberianku.” Padahal air itu datang dari bumi yang sama, dari rakyat yang sama. Namun karena saluran itu memiliki suara, sementara tanah diam, narasi pun bergeser. Kata-kata bisa mengubah siapa yang dianggap majikan, dan siapa yang dianggap pelayan. Dalam diam itulah kesadaran publik dapat berubah tanpa disadari. Dan itu salah kaprah bernegara.
Oleh karena itu, menolak istilah “pemerintah memberi bantuan” bukan sekadar urusan diksi, ia adalah upaya memulihkan logika bernegara. Pemerintah harus sadar bahwa ia pelayan rakyat, dan apapun pekerjaannya haruslah disadari sebagai pelayanan publik. Ia juga mesti disebut menyalurkan hak, bukan memberi bantuan. Ia melaksanakan kewajiban, bukan bermurah hati. Ia mengelola dana publik, bukan menyedekahkan. Pergeseran bahasa ini penting untuk menegakkan kembali relasi demokratis yang sehat dan memutus kesinambungan budaya politik yang cenderung feodal. Pahit memang, tetapi begitulah fakta berbicara: seluruh kegiatan dan pembangunan fasilitas pemerintah dibiayai oleh rakyat, berarti rakyatlah sang juragan negeri ini.
Pada akhirnya, kita harus berani mengucapkan kebenaran yang sederhana dan sering terlupakan: rakyatlah yang memodali pemerintah, bukan sebaliknya. Dan bila modal itu dikembalikan dalam bentuk layanan atau jaminan sosial, itu bukanlah bantuan, melainkan hak rakyat dan kewajiban pemerintah. Bukan hadiah, tetapi bagian dari kontrak sosial yang harus dihormati. Pemerintah ada karena rakyat. Tanpa rakyat, tidak ada negara dan tidak ada pemerintahan. Karena itu, narasi “pemerintah membantu rakyat” harus ditinggalkan—demi akal sehat demokrasi, demi kejernihan administrasi, dan demi martabat publik yang selama ini tak boleh lagi dipijak oleh kesalahan bahasa yang tampak sepele, tetapi sesungguhnya fatal.
Penulis adalah Alumni Kehutanan yang Ijazahnya Asli & Pembelajar di Bidang Ilmu Hukum dan tinggal di kota Surabaya.



Post Comment